BAB I
P E N D A H U L U A N
A.
LATAR BELAKANG
Islam sebagai agama yang
berlaku abadi dan berlaku untuk seluruh umat manusia mempunyai sumber yang
lengkap pula. Sebagaimana diuraikan di awal bahwa sumber ajaran islam adalah
Al-Qur’an dan Sunnah yang sangat lengkap.
Seperti diketahui bahwa
Al-Qur’an adalah merupakan sumber ajaran yang bersifat pedoman pokok dan
global, sedangkan penjelasannya banyak diterangkan dan dilengkapi oleh
As-Sunnah secara komprehensif, memerlukan penelaahan dan pengkajian ilmiah yang
sungguh-sungguh serta berkesinambungan.
Selain Al-Qur’an dan
As-Sunnah, terdapat pula Ijtihad. Para ulama bersepakat tentang pengertian
ijtihad secara bahasa berbeda pandangan, mengenai pengertiannya secara istilah
muncul belakangan, yaitu pada massa tasyri dan massa sahabat. Ijtihad mempunyai
definisi dan mempunyai landasan serta dasar-dasar dan mempunyai hukum dan
mempunyai unsur-unsur.
Melalui makalah yang kecil lagi tipis ini, kami akan
membahas mengenai As-Sunnah dan Ijtihad sebagai sumber ajaran Islam. Kami juga
berusaha menjelaskan kepada pembaca sekelumit tentang kedua perkara di atas,
dan juga menjelaskan pentingnya pembahasan mengenai kedua sumber hukum Islam
tersebut.
B. RUMUSAN
MASALAH
Sumber Ajaran Agama Islam
As-sunnah Dan Ijtihad
Pembahasan tersebut, timbul beberapa pertanyaan:
AS-SUNNAH
1.
Pengertian As-sunnah ?
2.
Dasar alasan AS-SUNNAH sebagai sumber
hokum islam ?
3.
Hubugan AS-SUNNAH dengan AL-QUR’AN
?
4.
Dapatkah AS-SUNNAH berdiri sendiri dalam menentukan hukum ?
5.
Apakah semua perbuatan NABI MUHAMMAD
SAW dapat berfungsi sebagai sumber
hukum, yang dimiliki setiap muslim ?
IJTIHAD
1.
Pengertian IJTIHAD ?
2.
Dasar-Dasar IJTIHAD ?
3.
Syarat-Syarat Melakukan IJTIHAD ?
4.
Ruang Lingkup BERIJTIHAD ?
5.
Hukum IJTIHAD ?
6.
Landasan IJTIHAD ?
7.
Macam-Macam IJTIHAD ?
8.
Kedudukan IJTIHAD?
9.
METODE
IJTIHAD
C. TUJUAN
PENULISAN DAN POKOK PEMBAHASAN
Tujuan
penulisan makalah ini bermaksud agar apa yang telah kami susun tentang isi
masalah yang kami buat ini agar dapat mendukung diskusi makalah ini, dan dapat
membuat makalah yang kami buat ini bisa diterima oleh teman-teman semua.dan
kami berharap juga kepada teman-teman sekalian agar sekiranya memberi kritik
dan saran terhadap susunan makalah yang kami buat dan semoga tujuan penulisan
makalah ini dapat memberi sedikit pengetahuan buat kita semua.
BAB II
PEMBAHASAN
AS-SUNNAH/HADIS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM
A.
PENGERTIAN
Secara bahasa, hadis
dapat berarti baru, dekat dan khabar (cerita). Sedangkan menurut istilah adalah
segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, atau segala tingkah
laku yang Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan maupun
ketetapannya. Akan tetapi para ulama Ushul Fiqh, membatasi pengertian hadits hanya
pada ”ucapan-ucapan Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan hukum”, sedangkan
bila mencakup, pula perbuatan dan taqrir yang berkaitan dengan hukum, maka
ketiga hal ini mereka namai dengan ”As-Sunnah”.
B.
DASAR ALASAN
SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM
Sunnah adalah
sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-Qur’an.
Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam,
maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan sumber
hukum Islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran Sunnah sebagai sumber hukum
Islam, bukan saja memperoleh dosa, tetpai juga murtad hukumnya. Ayat-ayat
Al-Qur’an sendiri telah cukup menjadi alasan yang pasti tentang kebenaran
Al-Hadis, ini sebagai sumber hukum Islam. Di dalam Al-Quran dijelaskan antara
lain sebagai berikut:
تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ
بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ
Terjemahannya: “Akutelahmeninggalkankepada kalian
duaperkara, kalian tidakakansesatuntuk (selamanya) selama kalian
berpegangteguhkepadakeduanyayaituKitab Allah danSunnahNabi-Nya”
·
Setiap Mu’min harus taat kepada Allah dan kepada
Rasulullah. (Al-Anfal: 20, Muhammad: 33, an-Nisa: 59, Ali ‘Imran: 32, al-
Mujadalah: 13, an-Nur: 54, al-Maidah: 92).
·
Patuh kepada Rasul berarti patuh dan cinta kepada Allah.
(An-Nisa: 80, Ali ‘Imran: 31)
·
Orang yang menyalahi Sunnah akan mendapatkan siksa.
(Al-Anfal: 13, Al-Mujadilah: 5, An-Nisa: 115).
·
Berhukum terhadap Sunnah adalah tanda orang yang beriman.
(An-Nisa: 65).
Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada hadis karena selain memang di
perintahkan oleh Al-Qur’an, juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi)
suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak
dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai sumber hukum utama. Apabila Sunnah tidak
berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan
kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti tata cara shalat, kadar dan
ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an dalam
hal ini tersebut hanya berbicara secara global dan umum, dan yang menjelaskan
secara terperinci justru Sunnah Rasulullah. Selain itu juga akan mendapatkan
kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak (multi
makna), muhtamal (mengandung makna alternatif) dan sebagainya yang mau tidak
mau memerlukan Sunnah untuk menjelaskannya. Dan apabila penafsiran-penafsiran
tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan rasio (logika) sudah barang tentu
akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat subyektif dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
C.
HUBUNGAN
AS-SUNNAH DENGAN AL-QUR’AN
Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, maka As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir,
pensyarah, dan penjelas daripada ayat-ayat tertentu.
Apabila disimpulkan tentang fungsi As-Sunnah dalam hubungan dengan Al-Qur’an
itu adalah sebagai berikut :
·
Bayan Tafsir,
yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat
umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadis : “Shallu kamaa ro-aitumuni ushalli”
(Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah merupakan tafsiran
daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu : “Aqimush-shalah” (Kerjakan
shalat). Demikian pula hadis: “Khudzu ‘anni manasikakum” (Ambillah dariku
perbuatan hajiku) adalah tafsir dari ayat Al-Qur’an “Waatimmulhajja” ( Dan sempurnakanlah
hajimu ).
·
Bayan Taqrir,
yaitu As-Sunnah
berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an. Seperti hadis
yang berbunyi: “Shoumu liru’yatihiwafthiru liru’yatihi” (Berpuasalah karena
melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat
Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah : 185.
·
Bayan Taudhih,
yaitu menerangkan maksud dan tujuan
sesuatu ayat Al-Qur’an, seperti pernyataan Nabi : “Allah tidak
mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati”, adalah
taudhih (penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an dalam surat at-Taubah: 34, yang
artinya sebagai berikut :“Dan orang-orang yang menyimpan mas dan perak
kemudian tidak membelanjakannya dijalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan
azab yang pedih”. Pada waktu ayat ini turun banyak para sahabat yang
merasa berat untuk melaksanakan perintah ini, maka mereka bertanya kepada Nabi
yang kemudian dijawab dengan hadis tersebut.
D.
DAPATKAH
AS-SUNNAH BERDIRI SENDIRI DALAM MENENTUKAN HUKUM
Dalam pembicaraan hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an telah disinggung
tentang bayan tasyri’, yaitu hadis adakalanya menentukan suatu
peraturan/hukum atas suatu persoalan yang tidak disinggung sama sekali oleh
Al-Qur’an. Walaupun demikian para Ulama telah berselisih paham terhadap hal
ini. Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya pada ‘ishmah
(keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat)
apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi
saw. untuk ditaati. Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum
hanya Allah, Inn al-hukm illa lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada
Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), ketika hendak menetapkan hukum.
Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di atas,
maka jalan keluarnya mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi
Al-Sunnah terhadap Al-Quran didefinisikan sebagai bayan murad Allah (penjelasan
tentang maksud Allah) sehingga apakah ia merupakan penjelasan penguat, atau
rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan, kesemuanya bersumber dari Allah
SWT.
Sebenarnya dengan kedudukan Nabi sebagai Rasul pun sudah cukup menjadi
jaminan (sesuai dengan fungsinya sebagai tasyri’) adalah harus menjadi pedoman
bagi umatnya, dan seterusnya. Tetapi mereka yang keberatan, beralasan antara
lain: Bahwa fungsi Sunnah itu tidak lepas dari tabyin atas apa
yang dinyatakan Al-Qur’an sebagaimana penegasan Allah:
“keterangan-keterangan
(mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”
(An-Nahl: 44)
Maka apa saja yang diungkap Sunnah sudah ada penjelasannya dalam Al-Qur’an
meski secara umum sekalipun. Sebab Al-Qur’an sendiri menegaskan
“Tiadalah Kami
alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab ini” (Al-An’am : 38)
Sebenarnya kedua pendapat itu tidak mempunyai perbedaan yang pokok.
Walaupun titik tolak berpikirnya berbeda, tetapi kesimpulannya adalah sama.
Yang diperdebatkan keduanya adalah soal adanya hadis yang berdiri sendiri.
Apakah betul-betul ada atau hanya karena menganggap Al-Qur’an tidak membahasnya,
padahal sebenarnya membahas.
Seperti dalam soal haramnya kawin karena sesusuan, menurut pihak pertama
adalah karena ditetapkan oleh Sunnah yang berdiri sendiri, tetapi ketetapan itu
adalah sebagai tabyin/tafsir daripada ayat Al-Qur’an yang
membahasnya secara umum dan tidak jelas. Mereka sama-sama mengakui tentang
adanya sesuatu tersebut tetapi mereka berbeda pendapat tentang apakah Al-Qur’an
pernah menyinggungnya atau tidak (hanya ditetapkan oleh Sunnah saja)
Dalam kasus-kasus persoalan lain sebenarnya masih banyak hal-hal yang
ditetapkan oleh Sunnah saja, yang barangkali sangat sulit untuk kita cari ayat
Al-Qur’an yang membahasnya, walaupun secara umum dan global. Oleh karena itulah
kita cenderung untuk berpendapat sama dengan pihak yang pertama.
E.
APAKAH SEMUA
PERBUATAN NABI MUHAMMAD SAW DAPAT BERFUNGSI SEBAGAI SUMBER HUKUM, YANG HARUS
DIIKUTI OLEH SETIAP MUSLIM?
Pada dasarnya seorang Nabi punya peran sebagai panutan bagi umatnya.
Sehingga umatnya wajib menjadikan diri seorang Nabi sebagai suri tauladan dalam
hidupnya.
Namun perlu juga diketahui bahwa tidak semua perbuatan Nabi menjadi ajaran
yang wajib untuk diikuti. Memang betul bahwa para prinsipnya perbuatan Nabi itu
harus dijadikan tuntunan dan panutan dalam kehidupan. Akan tetapi kalau kita
sudah sampai detail masalah, ternyata tetap ada yang menjadi wilayah
khushushiyah beliau. Ada beberapa amal yang boleh dikerjakan oleh Nabi tetapi
haram bagi umatnya. Di sisi lain ada amal yang wajib bagi Nabi tapi bagi
umatnya hanya menjadi Sunnah. Lalu ada juga yang haram dikerjakan oleh Nabi
tetapi justru boleh bagi umatnya. Hal ini bisa kita telaah lebih lanjut dalam
beberapa uraian berikut ini:
1.
Boleh bagi Nabi, haram bagi umatnya
Ada beberapa
perbuatan hanya boleh dikerjakan oleh Rasulullah SAW, sebagai sebuah pengecualian.
Namun bagi kita sebagai umatnya justru haram hukumnya bila dikerjakan.
Contohnya antara lain:
·
Berpuasa Wishal
Puasa wishal
adalah puasa yang tidak berbuka saat Maghrib, hingga puasa itu bersambung terus
sampai esok harinya. Nabi Muhammad SAW berpuasa wishal dan hukumnya boleh bagi
beliau, sementara umatnya justru haram bila melakukannya.
·
Boleh beristri lebih dari empat wanita
Contoh lainnya
adalah masalah kebolehan poligami lebih dari 4 isteri dalam waktu yang
bersamaan. Kebolehan ini hanya berlaku bagi Rasulullah SAW seorang, sedangkan
umatnya justru diharamkan bila melakukannya.
2.
Yang wajib bagi Nabi, Sunnah bagi ummatnya
Sedangkan dari
sisi kewajiban, ada beberapa amal yang hukumnya wajib dikerjakan oleh
Rasulullah SAW, namun hukumnya hanya Sunnah bagi umatnya.
·
Shalat Dhuha’
Shalat dhuha’
yang hukumnya Sunnah bagi kita, namun bagi Nabi hukumnya wajib.
·
Qiyamullail
Demikian juga
dengan shalat malam (qiyamullaih) dan dua rakaat fajar. Hukumnya Sunnah bagi
kita tapi wajib bagi Rasulullah SAW.
·
Bersiwak
Selain itu juga
ada kewajiban bagi beliau untuk bersiwak, padahal bagi umatnya hukumnya hanya
Sunnah saja.
·
Bermusyawarah
Hukumnya wajib
bagi Nabi SAW namun Sunnah bagi umatnya
·
Menyembelih kurban (udhhiyah)
Hukumnya wajib
bagi Nabi SAW namun Sunnah bagi umatnya.
3.
Yang haram bagi Nabi tapi boleh bagi ummatnya
·
Menerima harta zakat
Semiskin apapun seorang Nabi, namun beliau diharamkan
menerima harta zakat. Demikian juga hal yang sama berlaku bagi keluarga beliau
(ahlul bait).
·
Makan makanan yang berbau
Segala jenis makanan yang berbau kurang sedang hukumnya
haram bagi beliau, seperti bawang dan sejenisnya. Hal itu karena menyebabkan
tidak mau datangnya malakat kepadanya untuk membawa wahyu.
Sedangkan bagi umatnya, hukumnya halal, setidaknya
hukumnya makruh. Maka jengkol, petai dan makanan sejenisnya, masih halal
dan tidak berdosa bila dimakan oleh umat Muhammad SAW.
·
Haram menikahi wanita ahlulkitab
Karena isteri Nabi berarti umahat muslim, ibunda
orang-orang muslim. Kalau isteri Nabi beragam nasrani atau yahudi, maka
bagaimana mungkin bisa terjadi.
Sedangkan bagi umatnya dihalalkan menikahi wanita ahli
kitab, sebagaimana telah dihalalkan oleh Allah SWT di dalam Al-Quran surat
Al-Maidah ayat 3.
Selain hal-hal yang diuraikan di atas, perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad
sebelum kerasulan bukan merupakan sumber hukum dan tidak wajib diikuti.
Walaupun oleh sejarah dicatat bahwa perbuatan dan perkataan Nabi selalu terpuji
dan benar, sehingga beliau mendapatkan gelar Al-Amin. Akan
tetapi kehiupannya waktu itu bisa dijadikan sebagai suatu contoh yang sangat
baik bagi kehidupan setiap setiap muslim. Sebagaimana bolehnya kita mengambil
contoh atas perbuatan-perbuatan yang baik walaupun dari orang luar Islam
sekalipun.
Semua contoh di atas merupakan hasil istimbath hukum para ulama dengan cara
memeriksa semua dalil baik yang ada di dalam Al-Quran maupun yang ada di dalam
Sunnah Nabi SAW.
PEMBAHASAN
IJTIHAD SEBAGAI SUMBER HUKUM
ISLAM
Syariah islam yang
disampaikan dalam Al-Qur’an dan Sunnah secara komprehensif, memerlukan
penelaahan dan pengkajian ilmiah yang sungguh-sungguh serta berkesinambungan.
Didalam keduanya terdapat lafadz yang ‘am-khash, mutlaq-muqayyad, nasikh
mansukh, dan muhkam-mutasyabih, yang memerlukan penjelasan.
Sementara itu, nash Al-Qur’an
dan Sunnah telah berhenti, padahal waktu terus berjalan dengan sejumlah
peristiwa dan persoalan yang datang silih berganti (Al-wahyu qad intaha wal
Al-Waqa’ ila yantahi). Oleh karena itu, diperlukan usaha penyelesaian secara
sungguh-sungguh atas ijtihad menjadi sangat penting.
A.
PENGERTIAN IJTIHAD
Ijtihad berasal
dari bahasa arab dari bentuk fi’il madli yaitu ijtahada, bentuk fi’il mudlarek
yaitu yajtahidu, dan bentuk masdar yaitu ijtihadan yang artinya telah
bersungguh-sungguh, mencurahkan tenaga, menggunakan pikiran, dan bekerja
semaksimal mungkin.
Sedangkan
menurut istilah, ijtihad adalah suatu pekerjaan yang menggunakan segala
kesanggupan rohaniah untuk mendapatkan hukum syara’ atau menyusun pendapat dari
seluruh masalah hukum yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis. Orang yang
melakukan ijtihad disebut mujtahid, perlu dipahami bahwa hasil ijtihad dari
seorang mujtahid bersifat relative, sehingga tidak jarang terjadi perbedaan
hasil ijtihad satu dengan yang lainnya.
Kata ijtihad secara bahasa, Ahmad bin Ahmad bin
Ali Al-Muqri Al-Fayumi (t.th: 112) menjelaskan bahwa ijtihad secara bahasa
adalah:
بذل وسعه وطاقته فى طلبة ليبلغ مجهوده
ويصل الى نهايته
”pengesahan kesanggupan dan kekuatan (mujtahid)
dalam melakukan pencarian sesuatu, supaya sampai pada ujung yang ditujunya.”
Menurut Asy-Syaukani (t.th:250). Arti etimologi
ijtihad adalah:
عبارة عن الستفراغ فى اي فعل
”Pembicaraan mengenai pengarahan kemampuan dalm
pekerjaan apa saja secara bahasa, arti ijtihad dalam artian ja-ha-da terdapat
di dalam Al-Qur’an surat An-Nahl (16) ayat 38, surat An-nuur (24) ayat 53 dan
surat Fathir (35) ayat 42.”
Semua kata itu berarti pengerahan segala
kemampuan dan kekuatan (badzl al-wusy’i wa al-thaqah), atau juga berarti
berlebihan dalam bersumpah (Al-Muhalaghat fi al-yamin).
Menurut Abu Zahrah secara istilah arti ijtihad
adalah:
بذل الفقيه وسعة فى استنباط الاحكام
العملية من ادلتها التفصلية
”Upaya seseorang ahli fiqih dengan kemamapuannya
dalam mewujudkan hukum-hukum amalaiah yang diambil dari dalil-dalil yang
rinci”.
B. DASAR-DASAR IJTIHAD
Dasar hukum ijtihad adalah Al-Qur’an dan Sunnah.
Diantara ayat Al-Qur’an yang menjadi dasar ijtihad: adapun Sunnah yang menjadi
dasar ijtihad diantaranya Hadis Amr bin Ash yang diriwayatkan oleh imam
Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
اذا حكم الحاكم فاجتهد فاطاب فله اجران واذا حكم فاجتهد ثم اخطأ فله اجر واحد
“apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad kemudian dia
benar maka ia mendapatkan dua pahala. Akan tetapi, jika ia menetapkan hukum
dalam ijtihad itu salah maka ia mendapatkan satu pahala” . (HR. Muslim, 11,t.th
:62).
C. SYARAT-SYARAT MELAKUKAN
IJTIHAD
Syarat melakukan Ijtihad antara lain :
·
Mengerti dan memahami isi kandungan Al-Qur’an, juga Hadis
yang berhubungan dengan hukum Islam, dalam arti mampu membahas ayat-ayat
tersebut untuk menggali hukum.
·
Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadis Nabi
Muhammad SAW yang berhubungan dengan masalah hukum, dalam arti mampu membahas
hadis-hadis tersebut untuk menggali hukum.
·
Mampu berbahasa arab dengan baik, sebagai kelengkapan dan
kesempurnaan dalam menafsirkan Al-Qur’an dan Hadis
·
Mengerti dan memahami masalah-masalah yang hukumnya telah
ditunjukkan oleh ijma’ (kesepakatan semua ahli ijtihad pada suatu masa pada
hukum syara’), sehingga mujtahid tidak memberikan fatwa yang berlainan dengan
hasil ijma’ terdahulu
·
Mengetahui Ilmu Logika, agar dapat menghasilkan
kesimpulan ayang benar tentang hukum, dan sanggup mempertanggungjawabkannya.
D.
RUANG LINGKUP BERIJTIHAD
Ruang Lingkup/wilayah berijtihad adalah masalah
yang diperbolehkan penetapan hukumnya dengan cara ijtihad itu.
Telah disepakati bahwa hukum-hukum Islam yang
berkaitan dengan ibadah maupun muamalah, harus berdasarkan dengan nash
(Al-Qur’an dan Sunnah), apabila tidak dijumpai dalam keduanya atau dalil yang
ada dianggap kurang jelas, maka digunakanlah Ijtihad untuk menentukan hukumnya.
Sehingga tidak diperkenankan berijtihad dalam hukum-hukum yang berdasarkan nash
qath’iy.
E.
HUKUM IJTIHAD
Ulama berendapat, jika seorang muslim dihadapkan
kepada suatu peristiwa, atau ditanya tentang suatu masalah yang berkaitan
dengan hukum Syara’, maka hukum ijtihad bagi orang itu bisa wajib ‘ain, wajib
kifayat, sunnat atau haram, tergantung pada kapasitas orang tersebut.
Pertama, bagi seorang muslim yang memenuhi
kriteria mujtahid yang dimintai fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi
dan ia khawatir peristiwa itu akan hilang begitu saja tanpa kepastian hukumnya
maka hukum ijtihad menjadi wajib ‘ain.
Kedua, bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria
mutahid yang dimintai fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi maka hukum
ijtihad menjadi wajib kifayat. Artinya, jika semua mujtahid tidak ada yang
melakukan ijtihad atas kasus tersebut, maka semuanya berdosa. Sebaliknya jika
salah seorang dari mereka melakukan ijtihad atas kasus tersebut maka yang
lainnya tidak berdosa.
Ketiga, hukum berijtihad menjadi sunnat jika
dilakuakn atas persoalan atau kejadian yang tidak atau belum terjadi.
Keempat, hukum ijtihad menjadi haram jika
dilakukan atas peristiwa yasng sudah jelas hukumnya secara qath’i, baik dalam
Al-Qur’an maupun Sunnah, atau ijtihad atas peristiwa yang hukumnya telah
ditetapkan secara ijma’. (Wahbah Al Juhaili 1978:498-9 dan Muhaimin dkk,
1994:189).
F.
LANDASAN IJTIHAD
Dalam islam akal sangat dihargai. Banyak
ayat-ayat Al-Qur’an yang menyatakan suruhan untuk mempergunakan akal,
sebagaimana dapat dilihat dari terjemaahan ayat-ayat ini:
“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang
seburuk-buruknya disisi Allah ialah orang yang peka dan tuli yang mengerti
apapun” (Q.S Al-Anfal:22)
“Hai orang-orang beriman taatilah Alloh dan RosulNya dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Alloh dan Rosul, jika kamu benar-benar beriman kepada
Alloh dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya” (QS. An-Nisa’:59)
Untuk memberikan bukti bahwa ijtihad pernah
dilakukan para sahabat, pada masa nabi sekalipun hadist yang di riwayatkan oleh
Al-Baghawi dari Mu’adz bin Jabal yang artinya sebagai berikut:
بم تقضى؟ قال : بما فى كتاب الله، قال : فان لم تجد فى
كتاب الله؟ قال : اقضى بما قضى به رسول الله، قال : فان لم تجد فيما قضى به رسول
الله؟، قال : اجتهد برأيى، قال : الحمد لله الذى وفق رسول رسوله
“Pada waktu Rosulullah SAW mengutusnya (Mu’adz
bin Jabal) ke Yaman, Nabi Mahammad SAW berkata: ‘bagaimana jika engkau diserahi
urusan peradilan?’, jawabnya: ‘saya menetapkan perkara berdasarkan Al-Qur’an’, nabi berkata: ‘bagaimana kalau kau tidak
mendapati dalam Al-Qur’an?’, jawabnya: ‘dengan sunnah nabi’, selanjutnya nabi
berkata: ‘bila dalam sunnah pun tidak kau dapati?’, jawabnya: ‘saya akan
mengerahkan kesanggupan saya untuk menetapkan hukum dengan pikiran saya’,
akhirnya nabi Muhammad SAW menepuk dada dengan mengucapkan segala puji bagi
Allah yang telah memberikan taufiq (kecocokan) pada utusan Rosulullah (Mu’adz)
Sebagai bukti bahwa ijtihad yang dilakukan para
sahabat adalah ketika Abu Bakar menjadi khalifah, waktu itu terdapat sekelompok
yang tidak mambayar zakat fitrah. Abu Bakar bertindak memerangi mereka. Tidakan
Abu Bakar tidak disetujui oleh Umar bin Khatab dengan alasan menggunakan sabda
Nabi SAW yang artinya:
“Saya diperintahkan untuk memerangi orang banyak
(yang mengganggu islam) sehingga mereka mau mengucapkan syahadat. Kalau mereka
telah mengucapkannnya, terjagalah darah dan harta mereka, kecuali dengan cara
yang benar”
G.
MACAM-MACAM IJTIHAD
Ditinjau dari segi pelakunya ijtihad dibagi
menjadi dua, yaitu: ijtihad perorangan dan ijtihad jam’i. Ijtihad perorangan
yaitu suatu ijtihad yang dilakukan oleh seorang mujtahid dalam suatu persoalan
hukum. Sedangkan ijtihad jam’i atau ijtihad kelompok adalah ijtihad yang
dilakukan oleh sekelompok mujtahidin dalam menganalisa suatu masalah untuk
menentukan suatu hukum.
H.
KEDUDUKAN IJTIHAD
a.
Hasil
ijtihad tidak mutlak/relatif bisa berubah bahwa ijtihad tidak mutlak karena
mengingat hasil ijtihad merupakan analisa akal, maka sesuai dengan sifat dari
akal manusia sendiri yang relatif, maka hasilnya relatif pula. Pada saat
sekarang bisa berlaku dan pada saatnya yang lain bisa tidak berlaku.
b.
Hasil
ijihad tidak berlaku umum, dibatasi oleh tempat, ruang dan waktu. Dalam
ketentuan ini generasi terhadap suatu masalah tidak dapat dilakukan. Umat islam
bertebaran diseluruh dunia dalam berbagai situasi dan kondisi alamiah yang
berbeda. Lungkungan sosial dan budayanya pun sangan beraneka ragam. Ijtihad
suatu daerah belum tentu berlaku di daearah lain.
c.
Proses
ijtihad harus mempertimbangkan motifasi, akibat dan permasalahan umum (umat)
d.
Hasil
ijtihad tidak boleh berlaku untuk masalah ibadah mahdhlah, sebab masalah
tersebut telah ada ketetapannya dalam Al-Qur’an dan sunnah. Dengan demikian
kaidah yang penting dalam melakukan ijtihad adalah bahwa ijtihad tersebut tidak
boleh bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunnah.
I.
METODE IJTIHAD
a.
QIYAS.
Qiyas artinya reasoning by analogy. Makna aslinya adalah mengukur atau
membandingkan atau menimbang dengan menimbangkan sesuatu. Contoh: pada masa
Nabi Muhammad SAW, ada belum ada permasalahan padi. Dengan demikian diperlukan
ijtihad dengan jalan qiyas dalam menentukan zakat.
b.
.IJMA’
atau konsensus. Kata ijma’ berasal dari kata jam’un yang artinya menghimpun
atau mengumpulkan. Ijma’ mempunyai dua makna, yaitu menyusun dan mengatur
sesuatu hal yang tidak teratur. Oleh sebab itu, ia berarti menetapkan dan
memutuskan suatu perkara, dan berarti pula sepakat atau bersatu dalam pendapat.
Persetujuan pendapat berdasarkan dengan hasil ijma’ ini contohnya bagaimana
masalah kelurga berencana.
c.
ISTIHSAN,
istihsan artinya preference, makna aslinya ialah menganggap baik suatu barang
atau menyukai barang itu menurut terminlogi para ahli hukum, berarti didasarkan
atas kepentingan umum atau kepentingan keadilan. Dengan kata lain menetapkan
hukum masalah yang tidak ditentukan secara rinci dalam Al-Qur’an maupun hadis
yang didasarkan atas kepentingan umum (kemaslahatan) umum dan demi keadilan. Sebagai cotoh adalah peristiwa Ummar bin hatab
yang tidak melaksanakan hukum potong tangan kepada seorang pencuri pada masa
peceklik.
d.
MASLAHAT
AL-MURSALAT artinya : keputusan yang berdasarkan guna dan manfaat sesuai dengan
tujuan hukum syara’. Kepentingan umum yang menjadi dasar pertimbangan maslahat
dari suatu peristiwa. Contoh metode ini adalah tentang khamar dan judi. Dala
ketentuan nash bahwa khamar dan judi itu manfaat bagi manusia, tetapi bahayanya
lebih besar daripada manfaatnya. Dari sebuah nash dapat dilihat bahwa suatu
masalah yang mengandung masalahat dan manfaat, di dahulukan menolak mafsadat.
Untuk ini terdapat kaidah,
“menolak kerusakan lebih diutamakan dari pada
menarik kemaslahatannya, dan apabila berlawanan antara mafsadat dan maslahat
dahulukanlah menolak mafsadat”.
Disamping itu masih terdapat metode ijtihad yang lain, seperti istidlal,
Al-Urf dan Madzhab Sababi
·
Urf (Adat Kebiasaan)
Segala sesuatu
yang telah menjadi kebiasan suatu masyarakat dan dijalankan terus menerus, baik
itu berupa perkataan maupun perbuatan
·
Madzhab Sahabi
Perkataan sahabat yang bukan didasarkan atas pikiran
semata-mata adalah menjadi hujjah umat Islam.
BAB
3
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Jadi, As-Sunnah adalah
segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW, berupa perkataan,
perbuatan, atau persetujuannya (terhadap perkataan atau perbuatan para
sahabatnya) yang ditujukan sebagai syari’at bagi umat islam.
Terkadang ijtihad disalah-pahami oleh sebagian kaum muda. Ketika mereka memilih satu pendapat dari dua pendapat atau lebih, dengan mudahnya dia berkata bahwa itu adalah ijtihad. Pada taraf tertentu pandangan keliru ini membuat mereka alergi kepada taklid, yang juga dipandang secara keliru. Kekeliruan-keliruan semacam ini mungkin disebabkan mereka hanya melihat dari sisi bahasa atau lughoh semata
Terkadang ijtihad disalah-pahami oleh sebagian kaum muda. Ketika mereka memilih satu pendapat dari dua pendapat atau lebih, dengan mudahnya dia berkata bahwa itu adalah ijtihad. Pada taraf tertentu pandangan keliru ini membuat mereka alergi kepada taklid, yang juga dipandang secara keliru. Kekeliruan-keliruan semacam ini mungkin disebabkan mereka hanya melihat dari sisi bahasa atau lughoh semata
B.
Saran Dan Pendapat
SARAN
Saran
Kami Agar Masyarakat harus lebih memahami tentang sumber ajaran agama islam
As-sunnah Dan Ijtihad
PENDAPAT
Pendapat
kami Sumber Ajaran Agama Islam As-sunnah Dan Ijtihad sangat bagus dan akan
lebih bagus lagi apa bila diterapkan dalam kehidupan sehari-hari
DAFTAR PUSTAKA
Dasar –dasar islam//universitas
terbuka//1991
http://opi.110mb.com/haditsweb/artikel/as_sunnah_wahyu_kedua_setelah_al_quran.htm
http://almanhaj.or.id/content/2268/slash/0
http://konsultasisyariah.net/content/view/68/111/
http://www.scribd.com/doc/51198325/53/Macam-macam-Sunnah
http://assunnahmadiun.wordpress.com/2011/06/22/ahlus-sunnah-waljama%E2%80%99ah/
http://opi.110mb.com/haditsweb/artikel/as_sunnah_wahyu_kedua_setelah_al_quran.htm
http://almanhaj.or.id/content/2268/slash/0
http://konsultasisyariah.net/content/view/68/111/
http://www.scribd.com/doc/51198325/53/Macam-macam-Sunnah
http://assunnahmadiun.wordpress.com/2011/06/22/ahlus-sunnah-waljama%E2%80%99ah/
0 komentar: